1.
Pengertian Penalaran
Penalaran (reasoning, jalan pikiran) adalah
suatu proses berpikir yang berusaha menghubung hubungkan fakta-fakta atau
evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Bila kita
bandingkan argumentasi dengan sebuah bangunan, maka fakta, evidensi, dan
sebagainya dapat disamakan dengan batu bata, batu kali, semen, dsb. Sedangkan
proses penalaran itu sendiri dapat disamakan dengan bagan atau arsitektur untuk
membangun gedung tersebut. Penalaran merupakan sebuah proses berpikir untuk
mencapai suatu kesimpulan yang logis.
Penalaran bukan saja dapat dilakukan dengan
mempergunakan fakta-fakta yang masih berbentuk polos, tetapi dapat juga
dilakukan dengan mempergunakan fakta-fakta yang telah dirumuskan dalam
kalimat-kalimat yang berbentuk pendapat atau kesimpulan. Kalimat-kalimat
semacam ini, dalam hubungan dengan proses berpikir tadi disebut proposisi.
Proposisi dapat kita batasi sebagai pernyataan yang dapat dibuktikan
kebenarannya atau dapat ditolak karena kesalahan yang terkandung di dalamnya.
Sebuah pernyataan dapat dibenarkan bila terdapat bahan-bahan atau fakta-fakta
untuk membuktikannya. Sebaliknya sebuah pernyataan atau proposisi dapat
disangkal atau ditolak bila terdapat fakta-fakta yang menentangnya.
Proposisi selalu berbentuk kalimat, tetapi
tidak semua kalimat adalah proposisi. Hanya kalimat deklaratif yang dapat
mengandung proposisi, karena hanya kaliamat semacam itulah yang dapat
dibuktikan atau disangkal kebenarannya. Kalimat-kalimat tanya, perintah,
harapan, dan keinginan (desideratif) tidak pernah mengandung proposisi.
2. Proposisi
Penalaran (reasoning, jalan pikiran) adalah suatu
proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau
evidensi-evidensi yang diketahui menuju suatu kesimpulan. Penalaran merupakan
sebuah proses berpikir untuk mencapai suatu kesimpulan yang logis. Penalaran
bukan saja dapat dilakukan dengan mempergunakan kata-kata yang masih berbentuk
polos, tetapi juga dilakukan dengan mempergunakan fakta-fakta yang telah
dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang berbentuk pendapat atau kesimpulan.
Kalimat-kalimat semacam ini, dalam hubungannya dengan proses berpikir tadi
disebut proposisi. Proposisi dapat kita batasi sebagai pernyataan yang dapat
dibuktikan kebenarannya atau dapat ditolak karena kesalahan yang terkandung
didalammnya. Sebuah pernyataan dapat dibenarkan bila terdapat bahan-bahan atau
fakta-fakta yang kuat untuk membuktikannya. Sebaliknya sebuah pernyataan atau
proposisi dapat disangkal atau ditolak apabila terdapat fakta-fakta yang kuat
untuk menentangnya. Untuk contoh lebih jelasnya sebagai berikut :
Semua
manusia akan mati pada suatu waktu
Beberapa
orang Indonesia memiliki kekayaan yang berlimpah-limpah
Kota
Bandung hancur dalam Perang Dunia Kedua karena bom atom.
Semua
gajah lelah pada tahun 1980.
Keempat
kalimat diatas merupakan proposisi, kedua kalimat yang pertama dapat dibuktikan
kebenarannya, dan kedua kalimat terahir dapat ditolak karena fakta-fakta yang
ada menentang kebenarannya. Tetapi keempat kalimat tersebut tetap merupakan
proposisi.
3. Inferensi dan Implikasi
Tiap proposisi dapat mencerminkan dua macam kemungkinan,
pertama ia merupakan ucapan-ucapan faktual sebagai akibat dari pengalaman
seseorang mengenai suatu hal. Kedua proposisi dapat juga merupakan pendapat,
atau kesimpulan seseorang mengenai suatu hal. Untuk membuktikan kebenaran yang
terkandung dalam sebuah kesimpulan, harus dicari dan di uji fakta-fakta yang
dijadikan landasan untuk menyusun kesimpulan itu. Fakta adalah apa saja yang
ada, baik perbuatan yang dilakukan maupun peristiwa-peristiwa yang terjadi atau
sesuatu yang ada di alam ini tanpa memperhatikan atau mempersoalkan bagai mana
pendapat orang-orang tentangnya.
Kata inferensi berasal dari kata Latin inferred yang
berarti menarik kesimpulan. Kata implikasi juga berasal dari
bahasa latin, yaitu dari kata implicare yang berarti melibat atau
merangkum. Dalam logika, juga dalam ilmiah lainnya, kata inferensi adalah
kesimpulan yang diturunkan dari apa yang ada atau dari fakta-fakta yang
ada. Sedangkan implikasi adalah rangkuman, yaitu sesuatu dianggap ada
karena sudah dirangkum dalam fakta atau efidansi itu sendiri.
4. Wujud Evidensi
Unsur yang paling penting dalam suatu tulisan argumentative
adalah evidensi. Pada hakikatnya evidensi adalah semua fakta yang ada,
semua kesaksian, semua informasi, atau autoritas dan sebagainya yang di
hubung-hubungkan untuk membuktikan suatu kebenaran.fakta dalam kedudukan
sebagai efidensi tidak boleh dicampur adukkan dengan apa yang dikenal sebagai pernyataan
dan penegasan. Pernyataan tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap
sebuah evidensi, ia hanya sekedar menegaskan apakah fakta itu benar atau tidak.
Dalam argumentasi, seorang penulis boleh mengandalkan argumentasinya pada
pernyataan saja, bila ia menganggap pendengar sudah mengetahui fakta-faktanya,
serta memahami sepenuhnya kesimpulan-kesimpulan yang diturunkan daripadanya.
Dalam
wujudnya yang paling rendah evidensi itu berbentuk data atau informasi.
Yang dimagsud dengan data atau informasi adalah bahan
keterangan yang diperoleh dari suatu sumber tertentu. Biasanya semua bahan
informasi berupa statistik, dan heterangan-keterangan yang dikumpulkan atau di
berikan oleh orang-orang kepada seseorang, semuanya dimasukkan kedalam
pengertian data dan informasi. Untuk itu penulis atau pembicara
harus mengadakan pengujian atas data dan informasi tersebut, apakah semua bahan
keterangan itu merupakan fakta. Fakta adalah sesuatu yang sesungguhnya
terjadi, atau yang ada secara nyata.
5. Cara Menguji Data
Supaya data dan informasi dapat di pergunakan dalam
penalaran data dan informasi itu harus merupakan fakta. Dalam kedudukannya yang
pasti sebagai data, bahan-bahan itu siap digunakan sebagai evidensi. Oleh sebab
itu perlu diadakan pengujian-pengujian melalui cara-cara tertentu. Di bawah ini
akan di kemukakan beberapa cara yang dapat dipergunakan untuk mengadakan
pengujian tersebut.
a. Observasi
Fakta-fakta
yanag telah diajukan sebagai evidensi mungkin belum memuaskan seseorang
pengarang atau penulis. Untuk lebih meyakinkan dirinya sendiri dan sekaligus
dapat menggunakannya sebaik-baiknya dalam usaha menyakinkan para pembaca, maka
kadang-kadang pengarang merasa perlu untuk mengadakan peninjauan atau observasi
singkat untuk mengecek data atau informasi itu dan sesungguhnya dalam beberapa
banyak hal pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh seseorang, biasanya didasarkan
pula atas observasi yang telah diadakan.
b. Kesaksian
Keharusan
menguji data dan informasi, tidak selalu harus diakukan dengan observasi.
Kadang-kadang sangat sulit untuk mengharuskan seseorang mengadakan observasi
atas obyek yang akan dibicarakan. Kesulitan itu terjadi karena waktu, tempat,
dan biaya yang harus di keluarkan. Untuk mengatasi hal itu penulis atau
pengarang dapat melakukan pengujian dan meminta kesaksian atau keterangan dari
orang lain, yang telah mengalami sendiri atau menyelidiki sendiri persoalan
itu. Demikian pula halnya dengan penulis dan pengarang atau penulis, untuk
memperkuat evidensinya mereka dapat mempergunakan kesaksian orang lain yang
telah mengalami peristiwa tersebut.
c. Autoritas
Cara
ketiga yang dapat dipergunakan untuk menguji fakta dalam usaha menyusun
evidensi adalah meminta pendapat dari suatu autoritas, yakni pendapat dari
seorang ahli, atau mereka yang telah menyelidiki fakta-fakta itu dengan cermat,
memperhatikan semua kesaksian, menilai semua fakta kemudian memberikan pendapat
mereka sesuai dengan keahlian mereka dalam bidang itu.
6. Cara Menguji Fakta
Sebagai
telah dikemukakan diatas, untuk menetapkan apakah data atau informasi yang kita
peroleh itu merupakan fakta, maka harus diadakan penilaian, apakah data-data
atau informasi itu merupakan kenyataan atau hal-hal yang sunguh-sungguh
terjadi. Penilaian tingkat pertama hanya diarahkan untuk mendapatkan keyakinan
bahwa semua keyakinan itu adalah fakta.
a. Konsistensi
Dasar pertama yang harus dipakai untuk menetapkan fakta
mana yang akan dipakai sebagai evidensi adalah konsistenan. Sebuah
argumentasi akan kuat dan mempunyai tenaga persuasif yang tinggi, kalau
evidensi-evidensinya bersifat konsisten, tidak ada suatu evidensi bertentangan
atau melemahkan evidensi yang lain.
b. Koherensi
Dasar kedua yang dapat dipakai untuk mengadakan penilaian
atau fakta mana yang dapat dipergunakan sebagai evidensi adalah masalah koherensi.
Semua fakta yang akan digunakan sebagai evidensi harus pula koheren dengan
pengalaman-pengalaman manusia, atau sesuai dengan pandangan atau sikap yang
berlaku.
7. Cara Menilai Autoritas
Seorang penulis yang baik dan obyektif selalu akan
menghindari semua desas-desus, atau kesaksian tangan kedua. Penulis yang baik
akan membedakan apa pula apa yang hanya merupakan pendapat saja, atau pendapat
yang sungguh-sungguh didasarkan atas penelitian atau data-data fundamental.
Demikian pula sikap seorang penulis menghadapi pendapat autoritas. Ada
kemungkinan bahwa suatu autoritas dapat melakukan suatu kesalahan-kesalahan.
Untuk menilai suatu otoritas, penulis dapat memilih beberapa pokok berikut :
a. Tidak Mengandung Prasangka
Dasar
pertama yang perlu diketahui oleh penulis adalah pendapat autoritas sama sekali
tidak boleh mengandung prasangka. Yang tidak mengandung prasangka
artinya pendapat itu disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
ahli itu sendiri, atau didasarkan pada hasil-hasil eksperimental yang
dilakukannya. Pengertian tidak mengandung prasangka juga mencakup hal
lain, yaitu bahwa autoritas itu tidak boleh memperoleh keuntungan pribadi dari
data-data eksperimentalnya. Bila faktor-faktor itu tidak mempengaruhi autoritas
itu, maka pendapatnya dapat dianggap sebagai suatu pendapat yang obyektif.
b. Pengalaman dan Pendidikan Autoritas
Dasar
kedua yang harus diperhitungkan penulis untuk memperhitungkan penulis untuk
menilai pendapat suatu otoritas adalah menyangkut pengalaman dan pendidikan
autoritas. Pendidikan yang diperoleh menjadi jaminan awal, pendididkan yang diperolehnya
harus dikembangkan lebih lanjut dalam kegiatan-kegiatan sebagai seorang ahli
yang diperoleh melalui pendidikan tadi. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh
autoritas, penelitian-penelitian yang dilakukan dan prestasi hasil-hasil
penelitian dan hasil pendapatnya akan lebih memperkokoh kedudukannya, dengan
catatan bahwa syarat pertama diatas harus juga di perhatikan.
c. Kemashuran dan Prestise
Faktor
ketiga yang harus diperhatikan oleh penulis untuk menilai autoritas adalah
meneliti apakah pernyataan atau pendapat yang akan dikutip sebagai autoritas
itu hanya sekedar bersembunyi dibalik kemasyuran dan prestise pribadi dibidang
lain. Apakah ahli itu menyertakan pendapatnya dengan fakta-fakta yang
meyakinkan.
d. Koherensi dengan Kemajuan
Hal
keempat yang perlu diperhatikan oleh penulis argumentasi adalah apakah pendapat
yang diberikan autoritas itu sejalan dengan perkembangan dengan kemajuan jaman,
atau koheren dengan pendapat atau sikap terahir dalam bidang itu. Pengetahuan
dan pendapat terahir tidak selalu berarti bahwa pendapat itulah yang terbaik.
Tetapi harus diakui bahwa pendapat-pendapat terahir dari ahli-ahli dalam bidang
yang sama lebih dapat diandalkan, karena autoritas-autoritas semacam itu
memperoleh kesempatan yang paling baik untuk membandingkan semua pendapat
sebelumnya, dengan segala kebaikan dan keburukan atau kelemahannya, sehingga
mereka dapat mencetuskan suatu pendapat yang lebih baik, yang lebih dapat di
pertanggung jawabkan.
Untuk
melihat bahwa penulis sungguh-sungguh siap dengan persoalan yang tengah
diargumentasikan, maka sebaiknya seluruh argumentasi itu jangan didasarkan
hanya pada suatu autoritas. Dengan bersandar pada suatu autoritas saja, maka
hal itu diperlihatkan bawha penulis karangan telah benar-benar mempersiapkan
diri.
Sumber :
Keraf Gorys, Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989.
Sumber :
Keraf Gorys, Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar