text

Selamat Datang di ferry's site

Selasa, 26 Maret 2013

Penalaran


1. Pengertian Penalaran
Penalaran (reasoning, jalan pikiran) adalah suatu proses berpikir yang berusaha menghubung hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Bila kita bandingkan argumentasi dengan sebuah bangunan, maka fakta, evidensi, dan sebagainya dapat disamakan dengan batu bata, batu kali, semen, dsb. Sedangkan proses penalaran itu sendiri dapat disamakan dengan bagan atau arsitektur untuk membangun gedung tersebut. Penalaran merupakan sebuah proses berpikir untuk mencapai suatu kesimpulan yang logis.
Penalaran bukan saja dapat dilakukan dengan mempergunakan fakta-fakta yang masih berbentuk polos, tetapi dapat juga dilakukan dengan mempergunakan fakta-fakta yang telah dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang berbentuk pendapat atau kesimpulan. Kalimat-kalimat semacam ini, dalam hubungan dengan proses berpikir tadi disebut proposisi. Proposisi dapat kita batasi sebagai pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau dapat ditolak karena kesalahan yang terkandung di dalamnya. Sebuah pernyataan dapat dibenarkan bila terdapat bahan-bahan atau fakta-fakta untuk membuktikannya. Sebaliknya sebuah pernyataan atau proposisi dapat disangkal atau ditolak bila terdapat fakta-fakta yang menentangnya.

Proposisi selalu berbentuk kalimat, tetapi tidak semua kalimat adalah proposisi. Hanya kalimat deklaratif yang dapat mengandung proposisi, karena hanya kaliamat semacam itulah yang dapat dibuktikan atau disangkal kebenarannya. Kalimat-kalimat tanya, perintah, harapan, dan keinginan (desideratif) tidak pernah mengandung proposisi.
2. Proposisi
Penalaran (reasoning, jalan pikiran) adalah suatu proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju suatu kesimpulan. Penalaran merupakan sebuah proses berpikir untuk mencapai suatu kesimpulan yang logis. Penalaran bukan saja dapat dilakukan dengan mempergunakan kata-kata yang masih berbentuk polos, tetapi juga dilakukan dengan mempergunakan fakta-fakta yang telah dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang berbentuk pendapat atau kesimpulan. Kalimat-kalimat semacam ini, dalam hubungannya dengan proses berpikir tadi disebut proposisi. Proposisi dapat kita batasi sebagai pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau dapat ditolak karena kesalahan yang terkandung didalammnya. Sebuah pernyataan dapat dibenarkan bila terdapat bahan-bahan atau fakta-fakta yang kuat untuk membuktikannya. Sebaliknya sebuah pernyataan atau proposisi dapat disangkal atau ditolak apabila terdapat fakta-fakta yang kuat untuk menentangnya. Untuk contoh lebih jelasnya sebagai berikut :
Semua manusia akan mati pada suatu waktu
Beberapa orang Indonesia memiliki kekayaan yang berlimpah-limpah
Kota Bandung hancur dalam Perang Dunia Kedua karena bom atom.
Semua gajah lelah pada tahun 1980.
Keempat kalimat diatas merupakan proposisi, kedua kalimat yang pertama dapat dibuktikan kebenarannya, dan kedua kalimat terahir dapat ditolak karena fakta-fakta yang ada menentang kebenarannya. Tetapi keempat kalimat tersebut tetap merupakan proposisi.
3. Inferensi dan Implikasi
Tiap proposisi dapat mencerminkan dua macam kemungkinan, pertama ia merupakan ucapan-ucapan faktual sebagai akibat dari pengalaman seseorang mengenai suatu hal. Kedua proposisi dapat juga merupakan pendapat, atau kesimpulan seseorang mengenai suatu hal. Untuk membuktikan kebenaran yang terkandung dalam sebuah kesimpulan, harus dicari dan di uji fakta-fakta yang dijadikan landasan untuk menyusun kesimpulan itu. Fakta adalah apa saja yang ada, baik perbuatan yang dilakukan maupun peristiwa-peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ada di alam ini tanpa memperhatikan atau mempersoalkan bagai mana pendapat orang-orang tentangnya.
Kata inferensi berasal dari kata Latin inferred yang berarti menarik kesimpulan. Kata implikasi juga berasal dari bahasa latin, yaitu dari kata implicare yang berarti melibat atau merangkum. Dalam logika, juga dalam ilmiah lainnya, kata inferensi adalah kesimpulan yang diturunkan dari apa yang ada atau dari fakta-fakta yang ada. Sedangkan implikasi adalah rangkuman, yaitu sesuatu dianggap ada karena sudah dirangkum dalam fakta atau efidansi itu sendiri.
4. Wujud Evidensi
Unsur yang paling penting dalam suatu tulisan argumentative adalah evidensi. Pada hakikatnya evidensi adalah semua fakta yang ada, semua kesaksian, semua informasi, atau autoritas dan sebagainya yang di hubung-hubungkan untuk membuktikan suatu kebenaran.fakta dalam kedudukan sebagai efidensi tidak boleh dicampur adukkan dengan apa yang dikenal sebagai pernyataan dan penegasan. Pernyataan tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap sebuah evidensi, ia hanya sekedar menegaskan apakah fakta itu benar atau tidak. Dalam argumentasi, seorang penulis boleh mengandalkan argumentasinya pada pernyataan saja, bila ia menganggap pendengar sudah mengetahui fakta-faktanya, serta memahami sepenuhnya kesimpulan-kesimpulan yang diturunkan daripadanya.
Dalam wujudnya yang paling rendah evidensi itu berbentuk data atau informasi. Yang dimagsud dengan data atau informasi adalah bahan keterangan yang diperoleh dari suatu sumber tertentu. Biasanya semua bahan informasi berupa statistik, dan heterangan-keterangan yang dikumpulkan atau di berikan oleh orang-orang kepada seseorang, semuanya dimasukkan kedalam pengertian data dan informasi. Untuk itu penulis atau pembicara harus mengadakan pengujian atas data dan informasi tersebut, apakah semua bahan keterangan itu merupakan fakta. Fakta adalah sesuatu yang sesungguhnya terjadi, atau yang ada secara nyata.
5. Cara Menguji Data
Supaya data dan informasi dapat di pergunakan dalam penalaran data dan informasi itu harus merupakan fakta. Dalam kedudukannya yang pasti sebagai data, bahan-bahan itu siap digunakan sebagai evidensi. Oleh sebab itu perlu diadakan pengujian-pengujian melalui cara-cara tertentu. Di bawah ini akan di kemukakan beberapa cara yang dapat dipergunakan untuk mengadakan pengujian tersebut.
a.   Observasi
Fakta-fakta yanag telah diajukan sebagai evidensi mungkin belum memuaskan seseorang pengarang atau penulis. Untuk lebih meyakinkan dirinya sendiri dan sekaligus dapat menggunakannya sebaik-baiknya dalam usaha menyakinkan para pembaca, maka kadang-kadang pengarang merasa perlu untuk mengadakan peninjauan atau observasi singkat untuk mengecek data atau informasi itu dan sesungguhnya dalam beberapa banyak hal pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh seseorang, biasanya didasarkan pula atas observasi yang telah diadakan.
b. Kesaksian
Keharusan menguji data dan informasi, tidak selalu harus diakukan dengan observasi. Kadang-kadang sangat sulit untuk mengharuskan seseorang mengadakan observasi atas obyek yang akan dibicarakan. Kesulitan itu terjadi karena waktu, tempat, dan biaya yang harus di keluarkan. Untuk mengatasi hal itu penulis atau pengarang dapat melakukan pengujian dan meminta kesaksian atau keterangan dari orang lain, yang telah mengalami sendiri atau menyelidiki sendiri persoalan itu. Demikian pula halnya dengan penulis dan pengarang atau penulis, untuk memperkuat evidensinya mereka dapat mempergunakan kesaksian orang lain yang telah mengalami peristiwa tersebut.
c. Autoritas
Cara ketiga yang dapat dipergunakan untuk menguji fakta dalam usaha menyusun evidensi adalah meminta pendapat dari suatu autoritas, yakni pendapat dari seorang ahli, atau mereka yang telah menyelidiki fakta-fakta itu dengan cermat, memperhatikan semua kesaksian, menilai semua fakta kemudian memberikan pendapat mereka sesuai dengan keahlian mereka dalam bidang itu.
6. Cara Menguji Fakta
Sebagai telah dikemukakan diatas, untuk menetapkan apakah data atau informasi yang kita peroleh itu merupakan fakta, maka harus diadakan penilaian, apakah data-data atau informasi itu merupakan kenyataan atau hal-hal yang sunguh-sungguh terjadi. Penilaian tingkat pertama hanya diarahkan untuk mendapatkan keyakinan bahwa semua keyakinan itu adalah fakta.
a. Konsistensi
Dasar pertama yang harus dipakai untuk menetapkan fakta mana yang akan dipakai sebagai evidensi adalah konsistenan. Sebuah argumentasi akan kuat dan mempunyai tenaga persuasif yang tinggi, kalau evidensi-evidensinya bersifat konsisten, tidak ada suatu evidensi bertentangan atau melemahkan evidensi yang lain.
b. Koherensi
Dasar kedua yang dapat dipakai untuk mengadakan penilaian atau fakta mana yang dapat dipergunakan sebagai evidensi adalah masalah koherensi. Semua fakta yang akan digunakan sebagai evidensi harus pula koheren dengan pengalaman-pengalaman manusia, atau sesuai dengan pandangan atau sikap yang berlaku.
7. Cara Menilai Autoritas
Seorang penulis yang baik dan obyektif selalu akan menghindari semua desas-desus, atau kesaksian tangan kedua. Penulis yang baik akan membedakan apa pula apa yang hanya merupakan pendapat saja, atau pendapat yang sungguh-sungguh didasarkan atas penelitian atau data-data fundamental. Demikian pula sikap seorang penulis menghadapi pendapat autoritas. Ada kemungkinan bahwa suatu autoritas dapat melakukan suatu kesalahan-kesalahan. Untuk menilai suatu otoritas, penulis dapat memilih beberapa pokok berikut :
a. Tidak Mengandung Prasangka
Dasar pertama yang perlu diketahui oleh penulis adalah pendapat autoritas sama sekali tidak boleh mengandung prasangka. Yang tidak mengandung prasangka artinya pendapat itu disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh ahli itu sendiri, atau didasarkan pada hasil-hasil eksperimental yang dilakukannya. Pengertian tidak mengandung prasangka juga mencakup hal lain, yaitu bahwa autoritas itu tidak boleh memperoleh keuntungan pribadi dari data-data eksperimentalnya. Bila faktor-faktor itu tidak mempengaruhi autoritas itu, maka pendapatnya dapat dianggap sebagai suatu pendapat yang obyektif.
b. Pengalaman dan Pendidikan Autoritas
Dasar kedua yang harus diperhitungkan penulis untuk memperhitungkan penulis untuk menilai pendapat suatu otoritas adalah menyangkut pengalaman dan pendidikan autoritas. Pendidikan yang diperoleh menjadi jaminan awal, pendididkan yang diperolehnya harus dikembangkan lebih lanjut dalam kegiatan-kegiatan sebagai seorang ahli yang diperoleh melalui pendidikan tadi. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh autoritas, penelitian-penelitian yang dilakukan dan prestasi hasil-hasil penelitian dan hasil pendapatnya akan lebih memperkokoh kedudukannya, dengan catatan bahwa syarat pertama diatas harus juga di perhatikan.
c. Kemashuran dan Prestise
Faktor ketiga yang harus diperhatikan oleh penulis untuk menilai autoritas adalah meneliti apakah pernyataan atau pendapat yang akan dikutip sebagai autoritas itu hanya sekedar bersembunyi dibalik kemasyuran dan prestise pribadi dibidang lain. Apakah ahli itu menyertakan pendapatnya dengan fakta-fakta yang meyakinkan.
d. Koherensi dengan Kemajuan
Hal keempat yang perlu diperhatikan oleh penulis argumentasi adalah apakah pendapat yang diberikan autoritas itu sejalan dengan perkembangan dengan kemajuan jaman, atau koheren dengan pendapat atau sikap terahir dalam bidang itu. Pengetahuan dan pendapat terahir tidak selalu berarti bahwa pendapat itulah yang terbaik. Tetapi harus diakui bahwa pendapat-pendapat terahir dari ahli-ahli dalam bidang yang sama lebih dapat diandalkan, karena autoritas-autoritas semacam itu memperoleh kesempatan yang paling baik untuk membandingkan semua pendapat sebelumnya, dengan segala kebaikan dan keburukan atau kelemahannya, sehingga mereka dapat mencetuskan suatu pendapat yang lebih baik, yang lebih dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk melihat bahwa penulis sungguh-sungguh siap dengan persoalan yang tengah diargumentasikan, maka sebaiknya seluruh argumentasi itu jangan didasarkan hanya pada suatu autoritas. Dengan bersandar pada suatu autoritas saja, maka hal itu diperlihatkan bawha penulis karangan telah benar-benar mempersiapkan diri.



Sumber :
Keraf Gorys, Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar